Menakar Integritas Pemimpin


KHALIFAH UMAR TAK DIGAJI,
JUSTRU SERAHKAN HARTANYA KE KAS NEGARA,
BAGAIMANA PRESIDEN DAN PEJABAT SEKARANG?

_By Roky almaroky_

Konon gaji Presiden lebih kecil dari BPIP yang menembus angka ratusan juta. Gaji Presiden diatur dalam PP 75/2000 dan Kepres 68/2001. Tersebutlah gaji dan tunjangan sebesar 62,740 juta per bulan.
Terdiri dari gaji pokok 30,24 juta dan tunjangan 32,5 juta perbulan. Ini lebih kecil daripada Gaji ketua BPIP Megawati sebesar 112 juta per bulan. (tribunNews, 14 april 2018).

Memang agak aneh jika membandingkan beban kerja presiden dan ketua BPIP. Apakah kerja Presiden lebih ringan sehingga gajinya lebih kecil?
Dari keanehan itulah ada sahabat yang bertanya kepada saya, berapa sebenarnya Gaji pejabat dimasa para Khalifah dulu? Apakah mencapai Ratusan dinar?

Saya mencoba membuka beberapa literatur untuk mencari tahu berapa besaran gaji para Khalifah dulu.
Ternyata justru Khalifah Umar dulu pernah menggaji guru setingkat madrasah sebesar 15 Dinar (1 dinar = 4,25gram emas, jika sekarang 600 ribu per gram berarti 15 x 4,25 x 600.000 setara 38,25 juta per bulan).
Itu berarti setara gaji pokok presiden saat ini yang sekitar sekitar 30 juta an.

Memang kita sulit membandingkan para pejabat dalam sistem Khilafah dan para pejabat dalam sistem demokrasi kini.

Para Khalifah itu sangat takut kepada Allah. Mereka bisa sangat “RADIKAL” tak perlu harta, tak lagi mengejar harta.
Abu Bakar menyerahkan seluruh harta yang ia miliki sehingga yang tertinggal hanya penumbuk gandum di rumahnya.

Apa mungkin presiden sekarang berani serahkan semua hartanya?

Sedangkan Khalifah Umar menyerahkan kebun kurma miliknya yang berbuah lebat hanya karena terlambat sholat ashar (bandingkan pejabat saat ini jika terlambat sholat).

Lalu bagaimana mau kita bandingkan dengan pemimpin dalam sistem demokrasi kini? Mereka begitu sangat “RADIKAL” perlu harta, karena memang sangat membutuhkan untuk biaya pesta demokrasi yang sangat mahal.

Adakah Presiden yang menyerahkan seluruh hartanya ke Kas Negara?
Mungkinkah itu terjadi dalam sistem demokrasi yang super mahal ini?

Ketika Umar memangku jabatan sebagai Khalifah, ia tidak menerima gaji sedikit pun dari kas Negara. Ia tidak digaji karena bukan pekerja tapi sebagai kepala negara pelayan umat.
Bahkan hartanya sudah ia serahkan ke Kas Negara (Baitul Mal).
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan makan siang dan malam saja ia meminta pendapat sahabatnya Ali bin Abi Thalib (sebelum jadi khalifah ke-4).
Umar pun bertanya kepada Ali dan mendapat jawaban yang luar biasa dari Ali.
“Ambillah untuk keperluan makan siang dan makan malammu,” kata Ali.
Umar pun berkata “aku memposisikan diriku dihadapan Allah sepeerti seorang wali anak yatim. Jika sudah merasa cukup aku tidak mengambilnya. Jika aku membutuhkannya, aku makan dengan cara yang baik” (The Golden Story of Umar, hal. 280).

Khalifah Umar sangat hati-hati dalam membuat kebijakan. Bahkan dikisahkan ia makan bersama para pelayannya dan hanya menggunakan 1 (satu) saja lauk.

Coba silakan bandingkan dengan kepala negara dan pejabat dalam sistem demokrasi kini. Berapa lauk dan berapa jenis makanan yang meraka santap sekali makan?

Mungkin itu juga penyebab dicabutnya barokah dan nikmat makanan bagi mereka dengan diberikan berbagai penyakit. Ada yang terkena jantung, diabet, asam urat, dll.
Bahkan selain makan besar, mereka juga masih mendapat gaji besar. Konon ada yang ongkang-ongkang kaki dapat ratusan juta.

 Disisi lain begitu banyak rakyat yang menahan perih dan susah makan. Bahkan masih ada rakyat yang terkena busung lapar di negeri kaya raya ini.

Entah alasan apa yang akan dikatakan dihadapan Allah ketika disidang diakhirat nanti.
Khalifah umar juga sangat dekat dengan rakyatnya. Ia sering menyamar keliling kota untuk memantau situasi rakyatnya.
Tentu, bukan pencitraan karena ia menyamar dan tak membawa media untuk mempublikasikan kegiatan malamnya.
Ia memandang dirinya dengan rakyatnya itu ibarat musafir dalam perjalanan sama-sama berjalan menuju akhirat. Sehingga berlomba dalam berbuat kebaikan.

Kita tentu rindu sosok pemimpin seperti para Khalifah. Mereka hanya takut kepada Allah. Berbuat semata hanya karena Allah bukan karena pencitraan.

Berkhayal lahir sosok Khalifah Umar dalam sistem demokrasi ini adalah bagian dari ilusi demokrasi. Karena pesta demokrasi yang super mahal itu sekedar menghasilkan pemimpin populer, namun tak menjamin hasilkan pemimpin terbaik.

Komentar